Sabtu, 13 Agustus 2011

Membangun Kemampuan Bersosialisasi Pada Anak






Perkembangan anak meliputi segala perubahan yang terjadi pada anak, baik secara fisik, kognitif, emosi dan psikososial. Kemampuan anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya terkait dengan perkembangan psikososialnya.
Perlu dipahami bahwa setiap anak berbeda dan unik. Ada yang sulit dan ada yang mudah beradaptasi. Karena itu jika anak sudah cukup usianya, ada baiknya ia disekolahkan di taman kanak-kanak, TKA atau TPA. Namun, jika belum cukup umurnya, sering-seringlah anak diajak ke luar rumah sekalipun hanya di sekitar lingkungan rumahnya untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Sebab, banyaknya teman dan interaksi akan membuatnya mudah belajar tentang perilaku sosial seperti berbagi, berempati, menolong teman, memahami dan mengerti antar sesama teman, serta harus mandiri. Dengan semakin banyak teman, anak pun akan kaya dengan pengalaman. Hal ini berbeda dengan anak seusianya yang jarang berinteraksi dengan teman sebayanya di sekitar rumah; ia akan cenderung menjadi ’raja’ atau ’ratu’ yang harus dilayani, diperhatikan, dan diutamakan. Hal ini akan menghambat perkembangan psikososialnya.
Tiga Tipe Anak
Ketika anak-anak akan masuk sekolah, di sinilah biasanya akan terlihat kemampuan sosialisasi anak. Ada anak-anak yang mudah menyatu dengan dengan teman-teman barunya, bahkan ada yang berani memimpin barisan teman-teman barunya. Namun, ada yang masih agak malu-malu berkenalan dan bermain dengan teman-teman barunya, walaupun akhirnya mereka bergabung juga. Adapula anak yang enggan atau takut bergabung dengan teman barunya, malah cenderung tidak mau lepas dari ibunya.
Dari fakta ini dapat dipetik sebuah kesimpulan, bahwa ada tiga tipe anak dalam bersosialisasi: (1) tipe anak yang mudah; (2) tipe anak yang memerlukan pemanasan; (3) anak yang sulit. Ketiganya membutuhkan penanganan yang berbeda.
Anak yang mudah biasanya penampilannya penuh keberanian dan terbuka. Tampil dan berbicara apa adanya. Mudah bergaul dengan orang-orang yang mudah dikenalnya, lincah, serta banyak bicara. Mereka sama sekali tidak canggung berada di lingkungan yang baru, bahkan beberapa di antaranya tergolong sangat aktif.
Anak yang perlu pemanasan biasanya tidak terlalu berani, tetapi tidak pula penakut; ia cenderung berhati-hati terhadap lingkungan yang baru. Ia hanya memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Setelah beberapa waktu, mereka biasanya memperoleh kepercayaan dirinya kembali sehingga ia bisa menjadi begitu berani seperti anak-anak yang mudah. Dengan orang yang belum dikenal mereka biasanya diam, tetapi setelah kenal, mereka biasanya segera akrab. Anak-anak seperti ini perlu diberi motivasi atau dorongan semangat terlebih dulu. Waktu pemanasan yang dibutuhkan oleh anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru bisa dipersingkat dengan latihan-latihan. Sebelum anak dilatih dengan membawanya ke tempat-tempat baru baginya, lebih baik jika diberi pengertian dan motivasi terlebih dulu agar ia tidak terlalu terkejut dan sudah sedikit mengenal lingkungan baru tersebut melalui cerita ibunya. Dapat juga dengan memberinya permainan-permainan yang mendorong tumbuhnya keberanian.
Anak yang sulit cenderung pasif, pemalu dan penakut; terlalu bergantung pada orangtua atau pengasuhnya; sering selalu mengikuti atau membuntuti ibu atau ayahnya. Jika disapa sering menghindar, bahkan bersembunyi di balik perlindungan orangtuanya. Ia sering memiliki rasa takut dan khawatir yang berlebihan jika berada di lingkungan yang baru. Anak tipe ini biasanya mudah diatur dan dikendalikan karena sangat bergantung kepada orangtua. Cara mengurangi rasa kekhawatirannya yang berlebihan ini adalah dengan pembiasaan, pemberian pengertian, dan motivasi, di samping selalu meningkatkan keberanian si anak.

Potensinya Sama
Pada dasarnya setiap anak mempunyai potensi dan kemampuan untuk bersosialisasi, tinggal bagaimana para orangtua dan orang-orang yang dekat dengan anak berupaya untuk mengasahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa hal sederhana berikut:
Sesering mungkin anak diajak berkomunikasi, misalnya ketika ia sedang menangis atau marah-marah; tanyakan apa yang membuatnya marah, kemudian diarahkan supaya sang anak mencari solusinya.
Melatih anak untuk peka terhadap lingkungannya, misalnya ketika temannya marah kepadanya, anak diajarkan untuk menghadapinya dengan tenang, lalu menanyakan masalahnya dan mau meminta maaf jika ia yang bersalah.
Hendaknya setiap orangtua menghindari memanjakan anak secara berlebihan, karena hal ini akan menjadikannya kurang tangguh ketika ia ditimpa dengan berbagai masalah.

Teladan Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Rasulullah saw. dan para Sahabat telah memberikan banyak teladan praktis dalam membentuk hubungan sosial kemasyarakatan anak, antara lain sebagai berikut:

1. Mengajak anak menghadiri kumpulan orang dewasa.
Rasulullah saw. dan para Sahabat senantiasa memperhatikan kehadiran anak-anak dalam majelis mereka, baik ketika menuntut ilmu maupun ketika shalat. Para Sahabat pun sering membawa anak-anaknya ke majelis ilmu bersama Rasulullah saw. Dengan itu, anak akan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang yang baik perilakunya, akan mendapatkan nasihat dan bimbingan, dan lambat-laun akan memahami bagaimana adab majelis. Di dalam majelis ini pula anak-anak akan banyak mendapat ilmu dan mengasah kemampuan berpikirnya. Umar pernah membawa putranya Abdullah ke majelis Rasulullah. Ibnu Umar berkata:

Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian tentang sebuah pohon yang perumpamaannya adalah seperti Muslim yang memberikan buah setiap saat dengan izin Tuhan-Nya dan daun-daunnya tidak melukai?” Lalu terbetik dalam pikiranku bahwa pohon yang dimaksudkan adalah kurma, namun aku tidak ingin berbicara. Ketika Abu Bakar dan Umar tidak juga memberi jawaban, maka Rasulullah bersabda, “Jawabannya adalah pohon kurma.” Ketika aku keluar, aku berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, telah terpikir olehku bahwa jawabannya adalah pohon kurma.”
Kemudian Umar bertanya, “Apa yang menghalangimu? Aku menjawab, “Tidak ada yang menghalangiku kecuali karena aku melihat bahwa ayah dan Abu Bakar belum berbicara sehingga aku pun enggan untuk berbicara.”

2. Melatih anak melaksanakan tugas rumah yang ringan.
Dengan adanya tugas, yaitu dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya, anak akan tumbuh rasa tanggung jawabnya dan kepedulian sosialnya; ia akan percaya diri dalam menghadapi berbagai persoalan; ia pun akan mendapatkan keterampilan dan pengalaman yang sangat berguna yang kelak menjadi bekal di kemudian hari. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata:

Rasulullah berada di rumah Maimunah. Lalu aku menyiapkan air wudhu untuk beliau. Bibinya, Maimunah, lalu menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Beliau kemudian berdoa, “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam urusan agama dan ajarkan tafsir kepadanya.” (HR Hakim).

Perhatikan, bagaimana Rasulullah memberikan balasan kepada anak kecil dengan mendoakannya atas pelayanan yang diberikan. Perhatian seperti ini tentu saja berpengaruh besar terhadap anak.

3. Membiasakan anak mengucapkan Salam.
Salam adalah ucapan yang melembutkan siapapun yang mengucapkan dan mendengarnya. Sebab, salam berisi doa-doa yang luhur untuk sesama Muslim yang saling bertemu, tidak pandang apakah anak-anak ataupun dewasa. Kebiasaan ini akan menumbuhkan kepekaan sosial dan persaudaraan Islam yang tinggi. Disebutkan bahwa: Rasulullah saw. sering mengunjungi kaum Anshar, lalu Beliau mengucapkan salam kepada anak-anak mereka serta mengusap kepala mereka dan mendoakan kebaikan buat mereka.” (HR Ibnu Hibban).

4. Menjenguk anak yang sakit.
Kunjungan seseorang ketika anak sedang sakit serta doa yang dipanjatkan akan terasa menghiburnya sehingga rasa sakit yang dideritanya terasa lebih ringan. Dengan itu, anak pun akan mendapatkan contoh yang baik dari orang dewasa sehingga kelak ia lebih berempati kepada teman-temannya atau saudaranya. Apalagi jika kunjungan kepada anak yang sakit ini disertai pula dengan seruan dakwah, tentu akan memberikan buah yang sempurna dan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.
Abbas berkata: Ada seorang anak Yahudi yang menjadi pelayan Nabi saw. Suatu ketika ia sakit, lalu Nabi saw. Menjenguknya. Nabi berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Islam.” Si anak lantas menatap ayahnya, kemudian ayahnya berkata “Patuhilah Abu Qasim!”. Ia pun kemudian masuk Islam.

5. Memilihkan teman yang baik.
Orangtua sangat berperan dalam membantu memilihkan teman yang salih bagi anak-anaknya yang akan membantunya menaati Allah dan Rasul-Nya sehingga perilakunya sesuai dengan syariah.

6. Menghadiri acara/pertemuan yang disyariatkan.
Kehadiran anak-anak di acara yang disyariatkan merupakan kesempatan bagi mereka untuk bisa saling mengenal; mereka bisa mendengar perkataan yang baik, percakapan penuh cinta, dan kasih sayang. Perasaan mereka tergerak dan hubungan sosial mereka menjadi harmonis. Rasulullah saw. sering menyaksikan hadirnya anak-anak dalam suatu pertemuan, bahkan di walimatul ‘ursy, dan Beliau tidak melarang. Bahkan Beliau menyambut kehadiran mereka serta memberikan doa kepada hadirin seluruhnya, termasuk anak-anak kecil tadi.

7. Bermalam di rumah kerabat yang salih.
Kepergian anak ke salah seorang kerabatnya yang salih, kemudian menginap di sana mengandung pembelajaran baginya untuk melihat keluarga yang lain. Anak dapat bersilaturahmi dan menambah ikatan cinta dengan kerabatnya. Ia akan terdidik untuk berinteraksi dengan kerabat-kerabatnya serta dapat memetik hikmah dan teladan dari kerabatnya tersebut. Selain itu hubungan sosial yang baik pun akan terpupuk. Ibnu Abbas ra. mengajarkan lepada anak-anak agar suka berkunjung ke kaum kerabat yang salih dan mengambul hikmah dari mereka. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar