Rabu, 09 November 2011

Meninggalkan Anak Sekolah Sendiri

MASALAH
Pernah ada anak yang baru satu pekan menginjakkan kakinya di Taman Kanak-Kanak, setiap harinya selalu saja menangis ketika ditinggal pulang oleh ibunya.  Nama anak tersebut Banu .
Pihak sekolah memberi target dalam jangka waktu sepekan bisa menghilangkan rengekan dan jeritan.  Tetap saja Banu belum siap bergabung belajar dan bermain bersama temannya.
Biasanya yang mengantar sekolah adalah ibunya dengan mengendarai sepeda motor.  Karena hujan, Banu diantar oleh ayahnya dengan mobil.  Para guru sepakat tidak akan menyambut Banu bila ia tidak berinisiatif turun dari kendaraan beroda empat itu.  Sampai acara penyambutan anak selesai, Banu masih saja nongkrong di jok belakang sambil asyik meneguk secangkir susu hangat.
Seluruh anak  dan orang tua sudah tidak ada di gerbang sekolah saat itu kecuali hanya ada Banu dan ayahnya.
SOLUSI
PERTAMA
Guru menunggu di dalam sekolah sampai satu jam berlalu.  Dia tidak muncul juga.  Ketika Banu masuk bersama ayahnya, ia selalu menggunakan tangisnya sehingga ayahnya menjadi tidak tega dan membawanya kembali keluar menuju pintu utama sekolah, begitu seterusnya.
Karena melihat kondisi demikan, guru datang menghampiri Banu.  Kemudian langsung memegang pundaknya yang mungil dan terus menatap mata Banu dengan posisi setengah duduk.  Guru berusaha bicara memberikan motivasi,
“Banu hari ini mau sekolah kan?”
Dia malah memilih mundur bersembunyi di balik badan ayahnya.  Sambil meneteskan air matanya, Banu menjawab,
“Nggak, nggak mau, Banu nggak mau sekolah.”
“Kenapa Banu tidak mau sekolah?’
“Tidak, Banu gak mau sekolah.”
Dengan nada bergetar ayahnya mulai bicara,
“Bagaimana ya, kalau sudah seperti ini?”
“Sebenarnya cuma satu cara saja Pak, Bapak harus tega meninggalkan Banu bersama saya.”
“Saya sekarang minta izin untuk menggendong Banu untuk membawa ke dalam, bagaimana Pak?”
“Kalau begitu, silahkan.”
Walaupun meronta sekuat tenaga, Banu tidak dilepaskan guru sampai dia siap untuk mengikuti kegiatan,
“Ya, silahkan Banu boleh nangis, nanti kalau sudah tenang boleh bicara.”
KEDUA
Ternyata Banu ingin bersama guru lain, tetapi karena guru yang bersangkutan sedang mengajarkan pra membaca, Banu tidak punya pilihan.  Tangisannya mulai mereda sekarang hanya terdengar suara sesegukan, menandakan saatnya guru bicara.
“Banu marah sama bunda?”
Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,
“Nggak bun.”
“Atau Banu takut dengan teman-teman?’
Banu dengan gerkan lemah menganggukkan kepalanya bertanda selama ini ia ada masalah dengan temannya, tapi Banu takut untuk bicara.  Kebetulan guru dan teman-teman kecil sedang berkumpul untuk memulai kegiatan pembacaan ikrar.  Inilah momen berharga bagi guru untuk meyakinkan Bany bahwa teman-teman siap bersama Banu.
Dalam keadaan posisi berdiri dan Banu masih tetap dalam pelukan guru, kemudian guru mulai membuka lagi pembicaraan dengan Banu.
“Banu sekarang, bunda mau bicara dengan teman-teman, Banu tolong dengarkan ya.”
Dengan suara agak keras guru menyapa anak-anak.
“Teman-teman hari ini dan seterusnya siap bersama Banu?”
Serempak dan kompak kerumunan anak menjawab,
“Siap, bunda!”
Untuk meyakinkan Banu, cara ini diulang kembali,
“Bagaimana Banu, temanmu sudah siap menerima kamu bersekolah, sekarang Banu siap bersekolah?”
“Belum, bunda.”
HASIL PELATIHAN
Meskipun Banu merasa belum siap, guru tidak berkecil hati dan tetap optimis.  Guru yakin besok Banu sudah siap bergabung dan melebur bersama guru dan teman-temannya.  Ternyata prediksi guru benar.  Keesokan harinya, Banu dengan mantap melangkahkan kakinya menuju kelas, bahkan sekarang Banu malah menarik tangan ibunya sedang asyik mengobrol dengan para guru.
CATATAN PSIKOLOGI
  • Anak Taman Kanak-Kanak perlu disiapkan untuk menghadapi sekolahnya yang baru.  Ada yang disebut  masa transisi di mana anak perlu tahu siapa teman-temannya, siapa guru-gurunya.
  • Anak usia 6 tahun yang baru menyelesaikan TK  biasanya masih memerlukan waktu untuk menyelesaikan diri.  Ada anak yang memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat  menyesuaikan  diri dan salah satu penyebabnya bukan karena anak belum mampu tapi lebih karena orang tua yang tidak tega meninggalkan anaknya.  Mungkin orang tua tidak pernah menyampaikan secara verbal bahwa dirinya belum tega meninggalkan anaknya.  Anak dapat merasakan ketika orang tuanya sebenarnya belum tega.
  • Darimana ya kira-kira anak-anak tahu? Dari bahasa tubuh, nada suara dan ekspresi wajah orang tuanya.  “Aduh bagaimana ya Nak, kalau kamu ditinggal ntar siapa ya yang akan mengurus kamu?” dengan nada suara memelas dan wajah sendu.  Anak akan melihat dan merasakan pesan yang dikirim orang tuanya.
  • Memberikan kepercayaan kepada sekolah yang telah dipilih akan mempercepat anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru.  Pilihlah sekolah yang kita yakin pada kualitas sekolah maupun gurunya.  Bismillah.
Sumber:  Kak Dodo dan Kak Imam (27 cara menangani emosi anak)


http://paudanakceria.wordpress.com/2011/07/21/meninggalkan-anak-sekolah-sendiri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar