Biarkan ide-ide si prasekolah mengalir lewat karya gambar yang dibuatnya.
Tak ada seorang anak pun yang tidak gemar menggambar. Saat disodorkan secarik kertas, ia akan dengan sigap mencoret-coret apa yang ada dalam imajinasinya di atas kertas tersebut. Lantaran itu, menggambar dianggap dapat dijadikan sebagai ajang mengasah kreativitas anak. Tak sampai di situ saja, aktivitas ini juga didaulat dapat menstimulasi daya imajinasi, mengembangkan gagasan, menyalurkan emosi, menumbuhkan minat seni, sekaligus mengoptimalkan kemampuan motorik halus si prasekolah.
Sayangnya, kata Dra. Gerda K. Wanei, M.Psi, banyak guru di sanggar gambar dan lukis maupun guru di TK yang justru disadari atau tidak menghambat anak untuk mendapat segala manfaat menggambar yang tadi disebutkan. Mengapa? Karena mereka masih saja melatih anak dengan model menggambar yang sudah terpola. Menggambar gunung harus berupa dua “gundukan” yang di tengahnya menyembul matahari dan di depannya terhampar sawah. Dari tahun ke tahun, gambar pemandangan ya seperti itu.
Bahkan untuk soal mewarnai gambar pun terpola, warna awan selalu biru, sawah indentik hijau. Demikian pula dengan latihan gradasi warna, selalu bergradasi dari nuansa tebal sampai tipis. “Semua gambar anak jadi tampak seragam. Tak ada lagi seni yang menonjol. Tak ada lagi imajinasi yang betul-betul merupakan ekspresi jiwa anak. Semuanya sudah di-setting sedemikian rupa,” keluh psikolog dari FKIP Program Studi Bimbingan Konseling Unika Atma Jaya, Jakarta ini.
Sayangnya, rata-rata orang dewasa langsung menganggap hebat gambar anak-anak yang disapu dengan warna yang “sesuai” secara merata, apalagi jika disertai gradasi khas ajaran sanggar. Tak heran, Gerda mengimbau agar guru di TK maupun di sanggar menggambar mengubah konsep atau metode yang terpola tersebut. Menurutnya, didaktik menggambar sebenarnya adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk menciptakan sesuatu sesuai pandangannya sendiri. Jadi sudah selayaknya guru memberikan kesempatan kepada anak untuk berimprovisasi. Jangan sampai anak terus-menerus menggambar sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
Dengan bebas berekspresi, anak bebas mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Ia jadi tak canggung-canggung menggambar gunung dengan tiga gundukan dengan warna hitam, contohnya. “Jangan pernah menyalahkan gambar dan warna yang dibuat anak karena dia sendiri pasti memiliki alasan tertentu. Warna gunung hitam karena mungkin dia melihatnya saat malam hari sehingga gunung itu gelap.”
DAMPAK TERPOLA
Jika konsep menggambar ter-pola ini terus dipelihara, menurut Gerda, dikhawatirkan kelak anak-anak mengalami hal-hal seperti berikut:
1. Tidak kreatif
Pola menggambar yang kaku membuat pemikiran anak jadi terstruktur, “Awan itu harus biru, kalau rumput ya hijau!” Lama-lama ia tak mampu mengembangkan dirinya dan jadi tidak kreatif. Aktivitasnya pun jadi monoton sehingga membuatnya mudah jenuh. “Duh, bosan banget nih, masa gambar pemandangan terus sih!” Sayangnya, ia tak tahu harus melakukan apa untuk mengusir kebosanan tersebut karena tak mampu menelurkan gagasan baru. Hal ini akan merembet dalam aktivitas lainnya sehari-hari. Akhirnya, anak tumbuh menjadi sosok yang tak percaya diri.
2. Tak mampu memecahkan masalah
Jika menghadapi masalah, anak tak mampu mencari solusi pemecahannya dan langkah-langkah alternatif. Solusi yang dijalankannya sama seperti yang biasa dilakukan orang lain ketika menghadapi masalah. Ujung-ujungnya kalau anak menemui masalah, dia akan panik dan tak mampu menyelesaikan masalah tersebut.
3. Tak bisa mandiri
Di kemudian hari, anak tak mampu mandiri, selalu bergantung pada orang lain, entah itu orang tua atau saudaranya. Akibat tak punya sikap yang jelas, maka anak mudah diintervensi atau dibujuk orang lain. Misalnya, diajak mencicipi narkoba atau ikut tawuran, ia mau saja. Sederhananya, sikap dan kepribadian anak sulit untuk menjadi kuat.
BAGAIMANA SEHARUSNYA?
Lalu, supaya belajar menggambar dapat memberikan manfaat secara optimal, bagaimana konsep yang mesti diterapkan? Berikut penjelasan Gerda:
1. Menggambar di ruang terbuka
Belajar menggambar bisa dilakukan di luar ruang. Malah konsep aktivitas luar ruang ini sudah banyak diterapkan banyak sekolah. Anak diajak ke sebuah taman, umpamanya, untuk selanjutnya dibolehkan menggambarkan apa saja yang dianggapnya menarik. Dari situ anak sekaligus belajar mengidentifikasi sesuatu, bahwa pohon pisang itu ternyata berbeda dari pohon mangga, misalnya.
2. Menggambar sesuai yang dipersepsikan
Jika di luar kelas tak memungkinkan, di dalam kelas pun pelajaran menggambar tetap dapat berlangsung. Yang penting, anak dibebaskan menggambar objek dari sudut pandang atau sisi yang dilihatnya. Jadi sah-sah saja kalau ia menggambar komputer tidak dari sisi depan melainkan dari samping kiri atau kanan. Dari situ masing-masing anak dapat mengembangkan daya kreativitasnya. Hasil gambarnya pun tidak akan seragam karena persepsi mereka juga berbeda-beda. Jadi beri saja sehelai kertas gambar. Lalu biarkan anak bebas mencipta atau menggambar sesuai imajinasinya.
3. Membentuk tim
Proses belajar menggambar saat ini kebanyakan masih bersifat individual. Untuk itu, latihlah anak untuk menggambar dalam bentuk tim. Konkretnya, satu kertas gambar dapat dikerjakan tiga orang dengan satu topik tertentu. Manfaatnya, anak dapat belajar berbagi tugas, bersosialisasi, berkolaborasi, belajar melawan sifat egois, dan mau menerima pendapat atau gagasan temannya.
Beri kebebasan pada masing-masing anak untuk memilih bagian kertas mana yang mau ia coret-coret sebagai gambaran idenya; bagian tengah, kiri atau kanan. Akan lebih baik, bila ia didorong untuk tak melulu memilih salah satu bagian kertas saja, misalnya bagian tengah terus, umpamanya. Sesekali minta ia mencoba menggambar di bagian pinggir. Faedahnya, anak jadi mengenal berbagai situasi dan kondisi. Namun terlepas dari itu, karya yang dihasilkan bersama bisa menjadi kebanggaan bersama pula. Apalagi kalau proyek tim ini berhasil menjuarai suatu lomba menggambar.
4. Jangan ada intervensi
Dalam perlombaan menggambar biasanya orang tua yang ikut-ikutan mengintervensi atau nimbrung mencampuri apa yang digambar anak. Dari yang sekadar tunjuk-tunjuk mengomandoi anak sampai ada yang membantu melengkapi gambar anaknya. Hal seperti itu sama saja dengan mendikte anak agar menggambar sesuai keinginan orang tua. Kalau hal ini jadi kebiasaan, dalam artian anak selalu didikte, dipandu, bahkan dibantu saat menggambar, jangan salahkan kalau kelak ia selalu menunggu instruksi orang tuanya dalam berbuat sesuatu. Anak takut melakukan sesuatu yang tak diminta orang tua karena takut salah. Dengan kata lain ia tetap kerdil sekalipun nanti sudah menginjak usia remaja atau dewasa karena selalu bergantung pada orang tuanya.
Untuk menghindarinya, mulai saat ini biarkan ia mencurahkan apa yang menjadi imajinasinya dalam bentuk gambar saat perlombaan berlangsung. Dari situlah anak belajar bertanggung jawab mengerjakan sebuah penugasan.
5. Beri pujian jangan celaan
Setelah anak menyelesaikan gambarnya, berilah pujian. “Gambarmu bagus sekali. Tapi mataharinya kok kurang bulat. Coba deh kamu buat lebih bulat.” Hindari perkataan seperti, “Aduh, gambar kepala orangnya kok peyang sih!” Intinya, guru dan orang tua mesti menerapkan nuansa edukatif dalam rangka didaktik menggambar. Kalau hasil karya anak dipuji, dia akan merasa percaya diri dan merasa bisa melakukan sesuatu serta bangga dengan apa yang dilakukannya. “Jangan lihat hasil akhir bahwa gambar itu jelek tapi lihat prosesnya. Hargai setiap usaha anak dalam menggambar.”
6. Biarkan anak memilih pensil warna sendiri
Ada kalanya guru menerapkan metode dengan cara hanya memberikan warna pensil yang terbatas kepada anak-anak. Padahal dengan begitu, justru anak tak bisa mengeksplorasi imajinasinya. Dia merasa dikekang dan tak bisa menciptakan sesuatu dengan optimal. “Sebaiknya berikan semua pensil warna dan biarkan anak memilih sendiri pensil warna yang disukai sesuai getaran jiwanya.”
7. Ajak anak untuk menjelaskan karya gambarnya
Usai menggambar, mintalah si prasekolah untuk menjelaskan apa saja yang digambarnya. Upaya ini merupakan cara untuk melatih kemampuan berbicara dan keberanian mengungkapkan pikiran dan gagasannya dengan lisan.
PANDUAN TETAP PERLU
Meski setiap anak harus diberi kebebasan untuk berimajinasi tapi kata Gerda, dalam didaktik menggambar, mereka tetap harus mendapatkan panduan belajar. “Anak juga jangan dibebaskan begitu saja. Kalau ia senang menggambar kapal terbang, ya jangan dibiarkan jika setiap hari dia selalu menggambar pesawat.”
Jadi dalam kurikulum mesti ada topik atau tema-tema tertentu dalam menggambar. Suatu kali anak diminta menggambar situasi taman. Kali lainnya, menggambar tentang anggota keluarganya, dan sebagainya. “Jadi anak menjalani proses belajar menggambar sesuai dengan arahan yang benar.”
MENDETEKSI KEPRIBADIAN DENGAN WARNA
Menurut Gerda, dalam kajian psikologi, hasil gambar bisa digunakan untuk mendeteksi minat dan bakat seorang anak. Begitu pun mewarnai yang juga bisa menguak kondisi psikologis atau kepribadian anak. Anak yang memilih warna yang ceria seperti kuning, merah, atau warna ngejreng lainnya bisa dikatakan sebagai anak yang ekstrover (terbuka). Sebaliknya, anak yang selalu memilih warna bernuansa gelap, seperti hitam, cokelat, atau abu-abu dikategorikan sebagai anak introver (tertutup). Dengan kata lain, mewarnai dapat menunjukkan bagaimana nuansa hati atau batin si anak. Anak yang selalu mewarnai gambar dengan warna-warna gelap merasa dirinya “gelap”.
Sedangkan anak yang hatinya ceria akan memilih warna yang betul-betul hidup.
Meski begitu, introver maupun ekstrover bukan “cap” seumur hidup karena dapat berubah sesuai pengaruh lingkungan. Jika si introver selalu dirangsang untuk bergaul, beradaptasi dengan orang lain, bisa jadi ia berubah menjadi ekstrover. Sebaliknya, anak yang tadinya ekstrover bisa juga berubah menjadi introver. Katakanlah anak yang dulunya ekstrover, akibat selalu dimarahi orang tuanya tak menutup kemungkinan menjadi anak pesimis dan tertutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar