BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian dan bantuan dari orang lain.
Santrock (2008,219) menyebut anak-anak yang tidak biasa dengan istilah “exceptional students” adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
Dilihat dari sudut pandang, paedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara paedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhab khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layana pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).
B. Tujuan Pembahasan
Dengan mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat memiliki gambaran, pengetahuan, dan wawasan yang cukup tentang jenis-jenis dan karakterisitk anak yang tidak biasa ini sehingga pada gilirannya memiliki sikap dan perilaku yang positif dan mampu memberikan perlakuan secara tepat untuk membantu mengembangkan potensi yang dimiliki.
BAB II
HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. Pengrtian Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan dan merupakan terjemahan dari child with specials needs yang telah digunakan secara luas di dunia nternasional. Ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan anak luar biasa. Ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan pendekatan dari difference ability. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus membawa kosekuensi cara pandang yang berbeda dengan istilah anak luar biasa yang pernah diergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental, emosi-sosial) anak, maka pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan prestesinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hamabatan belajar dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-masing anak.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: (a) anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), seperti anak yang tidak bisa melihat (atunanetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), anak yang mengalami cerebral palsy dst. Dan (b) anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer.
B. Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk memahami anak berkebutuhan khusus berarti kita harus melihat adanya berbagai perbedaan bila dibandingkan dengan keadaan normal, mulai dari keadaan fisik sampai mental,dari anak cacat sampai anak berbakat intelektual. Perbedaan untuk memahami anak berkebutuhan khusus dikenal ada dua hal yaitu perbedaan interindividual dan perbedaan intraindividual.
1. Perbedaan Interindividual
Berarti membandingkan perbedaan individu dengan orang lain dalam berbagai hal diantaranya perbedaan keadaan mental (kapasitas kemampuan intelektual), kemampuan panca indera (sensory), kemampuan gerak motorik, kemampuan komunikasi, kemampuan perilaku, dan keadaan fisik. Perkembangan akhir-akhir ini adanya perbedaan dalam pencapaian prestasi belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran. Jika memang prestasi anak berada jauh dari bawah standar kelulusan, maka dimungkinkan anak inimasuk kelompok anak berkebutuhan khusus. Selain perbedaan dalam prestasi akademik juga perbedaan antara kemampuan akademik ini biasanya digunakan tes kecerdasan yang dapat mengukur ptensi yang dapat mengukur potensi kemampuan intelektual yang dinyatakan dengan satuan IQ.
a. Perbedaan interindividual berdasarkan keadaan panca indera
1) Anak dengan gangguan penglihatan
Dengan menggunakan ukuran ketajaman penglihatan, seseorang disebut buta apabila ia memiliki tingkat efisiensi penglihatan 20,0 % atau lebih kecil. Yang tingkat efisiensinya lebih besar dari 20,0 % belum diktegorikan sebagai buta. Tunanetra mengandung arti ketunaan penglihatan mulai dari yang ringan sampai yang buta total. Menurut ukuran Snellen ketajaman penglihatan seseorang dihubungkan dengan tingkat efisiensi yang tersisa, dilukiskan sebagai berikut :
No Tingkat Ketajaman Tingkat efisiensi
1.
2.
3
4
5.. 20/20 f
20/35 f
20/70 f
20/100 f
20/200 f Efisiensi = 100 %
Efisiensi = 87,5 %
Efisiensi = 64,5 %
Efisiensi = 48,9 %
Efisiensi = 20,0 %
Untuk mengenal apakah anak mengalami gangguan penglihatan, dapat dilihat dari ciri-ciri fisik, perilaku maupun keluhan.
• Ciri fisik, seperti : mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi,gerakan mata takberaturan (goyang), mata selalu beair;
• Ciri perilaku, seperti : membaca terlalu dekat, membaca banyak yang terlewati,cepat lelah ketika membaca/menulis, sering menggerakan kepala ketika membaca, mengeryitkan kepala ketika melihat papan tulis, seing mengusap mata, mendongakkan kepala, berjalan sering menabrak benda di depannya, salah menyalin dalamjarak dekat, dsb.
• Ciri keluhan, seperti : merasa sakit kepala, sulit melihat dengan jelas dari jarak jauh, penglihatan terasa kabur ketika membaca/menulis, benda terlihat seperti dua buah, mata sering terasa gatal.
Dampak gangguan penglihatan bermacam-macam. Jika gangguan cukup ringan, mungkin dengan alat Bantu khusus (seperti kaca mata, loop, atau memperbesar huruf, penempatan tempat duduk) dapat sedikit membantu mengatasi masalah belajar anak. Tetapi, untuk gangguan yang sangat serius (sudah samapai tarap buta tentu mereka tidak dapat mengikuti pendidikan biasa tanpa bantuan layanan khusus. Mereka tidak lagi menggunakan huruf biasa di dalam belajar. Mereka sudah harus menggunakan huruf Braille.
Guru perlu mengenal mereka agar sejak dini anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat terlayani secara optimal, baik secara medis, sosial, psikologis, maupun pendidikan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan belajar pada diri anak dikemudian hari. Dalam hal ini guru perlu kerjasama yang baik dengan orang tua atau ahli lain yang relevan, seperti doketer mata.
2) Anak dengan gangguan pendenganran
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebutuhan khusus oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau seluruh alat atau organ-organ pendengaran, dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur tertentu (audiometer). Organisasi Standar Dunia menetapkan bahwa gangguan pendengaran dapat dikelompokan sebagai berikut :
Sangat ringan = 27-40 db,
Ringan = 41-55 db,
Sedang = 56-70 db,
Berat = 71-90 db,
Berat sekali = 91 db ke atas.
Dengan menggungakan ciri fisik dan prilaku anak, seorang anak dideteksi apakah mengalami gangguan pendengaran gangguan atau tidak. Ciri-ciri tersebut, antara lain : sering keluar cairan dari liang telinga, bentuk daun telinga tidak normal, sering mengeluh atau gatal di lubang telinga, kalau berbicara selalu melihat gerakan bibir lawan bicara, sering tidak bereaksi jika diajak bicara kurang keras selalu minta diulang dalam pembicaraan, dan sebagainya.
3) Anak dengan kelainan autistik
Perlunya penanganan khusus bagi anak autis termasuk perkembangan baru dalam bidang pendidikan luar biasa. Mereka umumnya dikatagorikan sebagai anak dengan gangguan tunagrahita dan karenanya penanganannya sering dijadikan satu dengan anak tunagrahita. Namun dalam perkembangan ternyata penyandang autis tidak selalu mengalami anagrahita. Oleh karena itu dipandang perlu untuk dijadikan katagori tersendiri sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar.
Ciri-ciri umum anak dengan kelainan autistik antara lain adalah :
• Sering berkata tanpa arti.
• Sering menirukan perkataan orang lain secara spontan.
• Tanpa mengerti apa yang dibaca.
• Gerakan/aktivitas kaku, menonton dan berulang.
• Sering memutar, membanting dan membariskan benda.
• Lebih tertarik pada benda mati daripada orang.
• Mempunyai gerakan serba cepat (hiperaktif)
• Sering berprilaku stereotipik (diulang-ulang), aneh tanpa tujuan.
• Minat terhadap objek tertentu secara luar biasa dan tidak lazim misal detik jam, kipas angin.
• Kadangkala agresif (menyerang, merusak).
• Sulit konsentrasi pada aktivitas/objek tertentu.
• Sering sulit tidur, ngompol atau ngebrok.
• Tidak senang/mudah marah pada perubahan (letak barang di kamar, urutan kegiatan).
• Sering berubah emosi mendadak tanpa sebab (dari sedih kegembira, atau sebaliknya).
• Sering terjadi ledakan tawa atau tangis tanpa sebab.
b. Perbedaan interindividual berdasarkan keadaan fisik dan kemampuan gerak motorik
Ada dua kategori cacat tubuh, yaitu cacat anggota tubuh karena penyakit polio dan cacat tubuh karena kerusakan otak sehingga mengakibatkan ketidak mampuan gerak ( cerebral palsy ).
Pada dasarnya cerebral palsy merupakan gangguan koordinasi otot. Ototnya sendiri sebenarnya normal, tetapi otak mengalami gangguan dalam mengirimkan sinyal-sinyal yang penting untuk memerintah otot-otot untuk memendek atau memanjang atau harus meregang ( Puseschel ,1988 ) Anak-anak semacam ini masih dapat belajar dengan menggunakan semua inderanya. Tingkat intelektualnya umumnya normal bahkan ada yang sedikit diatas kesulitan jika harus melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan koordinasi motorik dan/atau keterampilan fisik, seperti olahraga, bermain, menulis, malakukan mobilitas, dan sebagainya.
Ciri-ciri gangguan gerakan karena kerusakan otak ( cerebral palsy ) antara lain sebagai berikut :
• otot keras dan kadang-kadang kaku serta tidak dapat menggerakkan anggota tubuh dengan baik, gerakannya sering tersentak-sentak.
• Sukar mengontrol kaki dan tangan dalam melakukan aktivitas, wajah seram dan kadang dengan mengulurkan lidah;
• Kekakuan dalam gerakan yang memerlukan keseimbangan, orientasi ruang, posisi tubuh mudah jatuh;
• Kakakuan yang ekstrem pada anggota tubuh dan sendi-sendi dan sukar bergerak untuk waktu yang lama.
Anak yang mengalami gangguan gerakan pada taraf sedang dan berat, umumnya dimasukkan ke sekolah luar biasa ( SLB ). Yang mengalami gangguan ringan mungkin banyak juga ditemukan di sekolah-sekolah umum. Jika mereka tidak mendapatkan bantuan pelayanan khusus dapat menyebab anak kebutuhan khusus terjadinya kesulitan belajar yang serius.
Gejala-gejala gangguan gerakan ringan pada anak seperti berikut: ini mungkin perlu di cermati dan diberi perhatian yang lebih serius
• Salah satu/kedua tangan atau kaki cacat,
• Salah satu/kedua tangan atau kaki tidak berfungsi,
• Sikap/keseimbangan tubuh saat duduk/berdiri, berjalan tidak normal,
• Koordinasi gerakan kaki, tangan, mata tidak normal,
• Banyak gerakan yang tidak terkontrol, menunjukkan tidak terkontrol, menunjukkan ketidaknormalan.
c. Perbedaan interindividual berdasarkan keadaan kemampuan komunikasi
Di Indonesia anak dengan gangguan komunikasi termasuk di dalamnya anak dengan gangguan wicara. Menurut Hallahan dan Kauffman ( 1991 ) gangguan komunikasi terdiri atas gangguan wicara dan gangguan bahasa. Gangguan wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi dan/ atau kelancaran wicara. Jadi gangguan wicara terdiri dari tiga macam yaitu gangguan suara, gangguan artikulasi, dan gangguan kelancaran bicara.
Gangguan bahasa adalah gangguan dari pemahaman dan/atau penggunaan bahasa ujaran, bahasa tulis, dan/atau sistem simbol. Kerusakan tersebut mungkin meliputi : bentuk bahasa ( fonologi, morfologi, dan sintaksis ), bahasa atau semantik, dan fungsi bahasa atau fragmatik.
Anak yang mengalami gangguan komunikasi biasanya menunjukkan gejala tidak lancar berbicara, pembicaraanya sulit ditangkap,suaranya tidak normal, gagap, dan sebagainya. Penyebabnya dapat bersifat organik dan dapat pula psikologik.
d. Perbedaan interindividual berdasarkan keadaan kemampuan emosi dan perilaku
Tidak ada definisi yang baku mengenai gangguan emosi dan perilaku, tetapi cirri-ciri umum menggambarkan adanya 4 dimensi ( Hallahan dan Kauffman, 1991 ) sebagai berikut.
• Anak yang mengalami gangguan perilaku, memiliki ciri-ciri antara lain suka berkelahi, memukul, menyerang, bersifat pemarah, tidak penurut/melawan peraturan, suka merusak baik baik milik diri sendiri maupun orang lain, kasar, tidak sopan, tidak mau kerja sama, penentang, kurang perhatian pada orang lain, suka mengganggu, suka ribut, mudah marah, suka mendominasi orang lain, suka mengancam atau menggertak, iri hati, cemburu, suka bertengkar, tidak bertanggung jawab, ceroboh, mencuri, mengacau, menolak kesalahan dan menyalahkan orang lain, murung, cemberut, mementinkan diri sendiri.
• Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri, memiliki ciri-ciri antara lain tegang, rasa takut bersalah, cemas, pemalu, menyendiri, mengasingkan diri, tidak punya teman, perasaan tertekan, sedih, sensitive, mudah merasa disakiti hatinya, merasa rendah diri, merasa tidak berharga, mudah frustasi, kurang keyakinan, pendiam.
• Anak yang agresif sosia ciri-cirinya antara lain adalah memiliki perkumpulan yang tidak baik, berani mencuri, loyal terhadap teman yang suka melanggar hukum, suka begadang sampai larut malam, melarikan diri dari sekolah, melarikan dari rumah.
• Individu yang tidak pernah dewasa ciri-cirinya antara lain adalah perhatiannya terbatas, kurang konsentrasi, melamun, kaku, canggung, pasif, kurang inisiatif, mudah digerakkan, lamban, ceroboh, mudah bosan, kurang tabah, kurang rapi.
Dengan melihat gejala-gejala tersebut, guru dapat melakukan identifikasi dan kemudian memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka sehingga tidak menjadi berkesulitan belajar.
e. Perbedaan interindividual berdasarkan keadaan prestasi belajar
Anak berkesulitan belajar dapat dikelompokan menjadi empat jenis : (1). Anak yang sebenarnya IQ nya rata-rata atau di atas rata-rata tetapi hasil belajarnya rendah karena factor eksternal. Disebut sebagai anak yang mengalami hambatan belajar, (2) anak yang sebenarnya IQ nya rata-rata atau di atas rata-rata tetapi mengalami kesulitan dalam bidang akademik tertentu (mislanya membaca, menulis, berhitung) tidak seluruh mata pelajaran, diduga karena factor neurologis, disebut sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik atau spesific learning disability, (3) anak yang prestasi belajarnya rendah tetapi IQ nya sedikit di bawah rata-rata disebut anak yang lamban belajar atua slow learner, dan (4) anak yang prestasi belajarnya rendah disertai adanya hambatan-hambatan kmunikasi dan social, sedangkan IQ nya jauh di bawah rata-rata disebut sebagai retardasi mental atau tunagrahita.
Pengelompokan ini penting karena pada umumnya secara pendidikan kadang-kadang mereka memiliki gejala yang sama, ialah sama-sama mengalami kesulitan belajar atau problema dalam belajar. Jika kita dapat menganalisis dan mencari sumber penyebab seta dapat mengelompokkan secara tepat, maka kita dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
Mengenai anak berkesulitan belajar spesifik (spesific learning disability), juga dapat dibagi menjadi dua jenis, ialah kesulitan belajar praakademik dan kesulitan belajar akademik.
1) Kesulitan Belajar Praakademik
Kesulitan belajar praakademik sering disebut juga sebagai kesulitan belajar developmental. Ada tiga jenis anak dengan kesulitan belajar developmental:
• Gangguan Motorik dan persepsi
Gangguan motorik disebut dispraksia, mencakup gangguan pada motorik kasar, penghayatan tubuh, dan motorik halus. Gangguan persepsi mencakup persepsi penglihatan atau persepsi visual. Persepsi pendengaran atau persepsi auditorik, presepsi heptik (raba dan gerak atau taktil dan kinestik), dan intelegensi system persepsual. Jenis gangguan ini perlu penanganan secara sistematis karena pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif yang pada gilirannya juga dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar akademik. Dispraksia atau sering disebut clumsy adalah keadaan sebagai akibat adanya gangguan dalam intelegensi auditor-motor. Anak tida mampu melaksanakan gerakan bagian dari tubuh dengan benar walaupun tidak ada kelumpuhan anggota tubuh, manifestasinya dapat berupa disfasia verbal (bicara) da non verbal (menulis, bahasa isyarat dan panomim).
Ada beberapa jenis dispraksia, yaitu :
a) Dispraksia ideomotoris ditandai kurangnya kemampuan dalam melakukan gerakan praktis sederhana, seperti menggunting, menggosok gigi atau menggunakan sendok makan. Gerakannya terkesan canggung dan kurang luwes. Dispraksia ini sering merupakan kendala bagi perkembagan bicara.
b) Dispraksia ideosional : anak dapat melakukan gerakan kompleks tetapi tidak mampu menyelesaikan secara keseluruhan terutama dalam kondisi lingkungan yang tidak tenang. Kesulitannya erletak pada urutan gerakan, anak sering bingung mengawali suatu aktivitas, misalna mengikuti irama musik.
c) Dispraksia konstruksinal : anak mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan kompleks yag berkaitan dengan bentuk, seperti menyusun balok dan menggambar. Kondisi ini dapat mempengaruhi gangguan menulis (disgrafia). Hal ini disebabkan dengna kebutuhan khususan karena kegagalan dalam konsep visio konstruktif.
d) Dispraksia oral : sering ditemukan pada anak yang mengalami disfasia perkembangan (gangguan perkembangan bahasa). Anak mempunyai ganggaun dalam bicara karena adanya gangguan dalam konsep gerakan motorik di dalam mulut. Berbicara dipandang sebagai bentuk gerakan halus dan terampil dalam rongga mulut sehinggga anak kurang mampu kalau diminta menirukan gerak, misalnya menjulurka atau menggerakan lidah, mengembangkan pipi, mencucurkan bibir dan sebagianya.
• Kesulitan belajar kognitif
Pengertian kognitif mencakup berbagai aspek structural intelek yang diprgunakan untuk mengetahui sesuatu. Dengan demikian kognitif merupakan fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran, simbolisasi, penalaran dan pemcahan masalah, perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalama penggunaan bahasa dan penyelesaian soal-soal matematika. Mengingat besarnya peran fungsi kognitif dalam penyelesaian ditangani sejak anak masih berda pada usia prasekolah.
• Gangguan perkembangan bahasa
Disfasia adalah ketidakmampuan atau keterbatasan kemmpuan anak untuk menggunakan simbol linguistik dalam rangka berkomunikasi sear vrbal. Gangguan pada anak yang terjadi pada fase perkembangan ktika anak belajar bebicara disebut sebagai disfasia perkembangan (develompment dysphasia). Bicara adalah bahasa verbal yang memiliki komponen artikulasi, suara dan kelanaran, ekspresi bahasa bicara (ujaran) mencakup enam komponen, yaitu : fonem, morfem, sintaksis, semantic, prosodi (itosasi) dan pragmatik. Kesulitan belajar bicara seyogyanya telah diketahui dan diperbaiki sejak anak berada pada usia prasekolah karena berpengaruh terhadap prestasi akademik sekolah.
Defisia ada dua jenis : yaitu defisia reseptif dan defisia eksprsif. Pada defisia reseptif anak mengalami gangguan pemahaman dalam penerimaan bahasa. Anak dapat mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi tidak mengerti apa yang diengar karena menglami gangguan dalam memproses stimulus yang masuk. Pada defisia eksprsi anak tidak mengalami didapat gangguan pemahaman bahasa, tetapi ia sulit mengekspresikan kata secara verbal. Anak dengan gangguan perkembangan bahasa akan berdampak pada kemampuan membaca dan menulis.
• Kesulitan dalam penyesuaian perilaku social
Pada anak yang periakunya tidak diterima oleh lingkungan sosialnya, baik oleh seama anak, guru, maupun orang tua. Ia ditolak oleh lingkungan sosialnya karena sering mengganggu, tidak sopan, tidak tahu aturan atau berbagai perilaku neatif lainnya. Jika kesulitan penyesuaian perilaku social ini tidak secepatnya ditaangani maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi anak itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungan.
2) Kesulitan Belajar Akademik
Meskipun sekolah mengajarkan berbagai mata pelajaran atau bidang studi, klaisfikasi kesulitan beljar akademik tidak dikaitkan dengan semua mata pelajaran atau bidang studi tersbut. Berbagai literature yang mengkaji kesulitan belajar hanya menyebutkan tiga jenis kesulitan belajar akademik sebagai berikut :
• Kesulitan belajar membaca (Disleksia)
Kesulitan belajar sering disebut Disleksia. Kesulitan belajar membaca yang berat dinamakan aleksia. Kemampuan membaca tidak hanya merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang akademik, tetapi juga unutk meningkatkan keterampilan kerja dan memungkinkan orang untuk berprestasi dalam kehidupan masyarakat secara bersama. Ada dua jenis pelajaran membaca, membaca permulaan atau membaca lisan dan membaca pemhaman. Mengingat pentingnya kemampuan membaca bagi kehidupan, kesulitan belajar membaca hendaknya ditangani sedini mungkin. Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan disleksia visual.
Gejala-gejala disleksia auditoris seabgai berikut :
a. Kesulitan dalam diskriminasi auditoris dan prsepsi sehingga mengalami kesulitan dalam analisis fonetik. Contoh : anak tidak dapat membedakan kata “Kakak, katak, kapak”.
b. Kesulitan analisis dan sintesis auditoris. Contoh : “ibu” tidak dapat diuraikan menjadi “I-bu” atau problem sintesa “p-I-ta” menjadi “pita”. Gangguan ini dapat menyebabkan kesulitan membaca dan mengeja.
c. Kesulitan re-auditoris bunyi atau kata. Jika diberi hurup tidak dapat mengingat bunyi hurup atau kata tersebut, atau kalau melihat kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kata tersebut;
d. Membaca dalam hati lebih baik dari membaca lisan;
e. Kadang-kadang disertai gangguan urutan auditoris;
f. Anak enderung melakukan aktiutas visual.
Gejala-gejala desleksia visual sebagai berikut :
a. Tendensi terbalik: misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, m menjadi w dan sebagainya;
b. Kesulitan diskriminasi, mengacaukan hurup atau kata yang mirip;
c. Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Bila diberi huruf cetak untuk menyusun kata mengalami kesulitan mislanya kata ibu menjadi ubi atau iub;
d. Memori visual terganggu;
e. Kecepatan persepsi lambat;
f. kesulitan analisis dan sintesis visual;
g. hasil tes membaca buruk;
h. biasanya ebih baik dalam kemampuanaktivias auditorik.
• Kesulitan belajar menulis (disgrafia)
Kesulitan belajar menulis disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menuli yang berat disebut agrafia. Ada tiga jenis pelajaran menulis, yaitu (a). menulis permulaan. (b). mengeja atau dikte dan (c). menulis ekspresif. Kegunaan kemampuan menulis bagi seorang anak adalah untuk menyalin, mencatat, dan mengerjakan sebagaian besar tugas sekolah. Oleh karena itu, kesulitan belajar menulis hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
• Kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
Kesulitan belajar berhitung disebut juga diskalkulia. Kesulitan belajar berhitung yang berat disebut akalkulia. Ada tiga elemen pelajaran berhitung yang harus dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebtu adalah (a) knsep, (b) komputasi dan (c) pemecahan masalah. Seperti halnya bahsa berhitung yang merupakan bagian dari matematika adalah sarana berpikir keilmuan. Oleh karena itu, seperti halnya kesulitan belajar bahasa, kesulitan berhitung hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mepelajari lain di sekolah.
2. Perbedaan Intraindividual
Adalah suatu perbandingan antara potensi yang ada di dalam diri indivdu itu sendiri, perbedaan ini dapat muncul dari berbagai aspek meliputi intelektual, fisik, psikologis, dan sosial.
Selain masalah perbedaan ada beberapa terminologi yang dapat digunakan untuk memahami anak berkebutuhan khusus. Istilah tersebut yaitu:
- impairment
Merupakan suatu keadaan atau kondisi diman individu mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis, atau fungsi struktur anatomis secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang yang mengalami amputasi satu kakinya. Maka dia mengalami kecacatan kaki.
- Disability
Suatu keadaan dimana individu mengalami kekurang kemampuan yang dimungkikan karena adanya keadaan impairment seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya maka dia akan merasakan kekurangan fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.
- Handicaped
Keadaan dimana individu mengalami ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh orang yang mengalami amputasi kaki sehingga untuk aktivitas mobilitas atau berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi roda.
Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik perbedaan interindividual maupun intraindividual yang signifikan dan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan pengajaran yang khusus.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Dengan kata lain pendidikan lebih berpusat kepada anak (child center), bukan berpusat pada kurikulum dan kecacatan. Untuk memahami kebutuhan dan hambatan belajar setiap anak, dilakukan melalui sebuah proses yang disebut assessment. Dalam konteks pendidikan kebutuhan khusus, assessment menjadi kompetensi dasar seorang guru.
Pendidikan kebutuhan khusus adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, dan sangat fokus pada hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Dilihat dari caranya memandang eksistensi seorang anak, pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) berbeda dengan jelas dari pendidikan khusus (special education). Dalam pendidikan khusus (special education), yang menjadi fokus perhatian tertuju kepada kecacatan anak (disability). Sedangkan pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Ruang lingkup garapan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mencegah timbulnya hambatan belajar dan hamabatan perkembangan pada setiap anak. Kedua mengkompensasikan hambatan yang dimiliki anak dan Ketiga, menangani hambatan (intervensi).
C. Pervalensi ( pemerataan)
Prakiraaan jumlah anak berkebutuhan khusus sangat dibutuhkan dalam mengambil kebijakan. Dalam mengemukakan jumlah anak berkebutuhan khusus terjadi perbedaan antarlembaga, hal ini dimungkinkan adanya perbedaan definisi dan kebutuhan yang disesuaikan dengan bidang lebaga masing-masing. Jumlah anak berkebutuhan khusus di negara maju seperti USA ada 11,50% dari populasi, sedang di negara berkembang seperti Indonesia dimungkinkan lebih banyak.
Sedangkan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum ada data yang akurat, hal ini terkait dengan adanya sikap masyarakat yang masih menganggap anak berkebutuhan khusus sebagai aib keluarga, sehingga setiap ada senss penduduk yang dilakukan setiap 10 tahun sekali selalu tidak muncul adanya anak berkebutuhan khusus. Menurut data BPS hasil sensus 2003 di Indonesia terdapat 1,48% penyandang cacat, hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara maju seperti USA sehingga keakuratan data tersebut masih diragukan. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah bersekolah di Indonesia ada 81.434 anak (Dir. PSLB,2006:39).
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, dkk. 2006. Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Upi Press
Http://Www.Scribd.Com/Doc/17387933/ Mengenal-Anak-Berkebutuhan-Khusus
http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-kebutuhan.html
Suparno, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Universitas Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar