Setiap kali memasuki tahun ajaran baru, biasanya orangtua akan sibuk untuk mengurusi anak-anaknya mau sekolah dimana. Berbagai masukan berdatangan, mulai dari informasi lewat iklan, informasi lewat teman dan segala bentuk informasi lainnya. Orangtua pun kadang-kadang bingung untuk menentukan pilihan.
Bagi orangtua yang memiliki anak usia 1 sampai 6 tahun akan sibuk dengan urusan memikirkan sekolah ke Play Group dan Taman Kanak-kanak (TK). Untuk keluarga yang berkecukupan, masalah pemilihan sekolah akan dilakukan dengan selektif. Karena mereka sangat menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam menempa karakter dan bekal anak kelak ketika akan memasuki sekolah dasar (SD).
Masalahnya sekarang adalah, bagaimana dengan keluarga yang tidak mampu ? Pastilah mereka akan pusing untuk memikirkan sekolah anak-anak mereka. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan.
Padahal, menurut UU No.20 Tahun 2003 Pasal 28 disebutkan, (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Butir 14 UU No.20 Tahun 2003, PAUD itu sendiri merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, sosial.
Oleh masyarakat, PAUD diindentikkan pendidikan TK. Tentu pendapat ini kurang tepat mengingat pendidikan TK hanya dialami anak satu atau dua tahun. Itu pun jika anak sempat mengalami pendidikan TK. Mengingat batasan PAUD adalah usia anak sejak lahir hingga enam tahun, PAUD lebih banyak dilaksanakan keluarga. Dengan demikian, keluargalah yang paling bertanggung jawab pada PAUD.
Walau demikian, tentu peran masyarakat tempat anak itu tumbuh tidak sedikit. Jika budaya di suatu masyarakat (masa lalu) pernah kita dengar ada si tukang cerita atau pendongeng, hal ini merupakan PAUD yang sangat efektif dalam memberi berbagai kecerdasan kepada anak usia dini - pada masa itu. Sayang, sejak hadirnya TV budaya kegiatan masa tua seperti mendongeng sebelum anak tidur makin langka.
Lantas, apakah pendidikan anak usia dini di Indonesia sudah berjalan dengan baik dan menjangkau semua sasaran? Jawabnya belum! Baik secara kuantitatif maupun kualitatif pendidikan anak usia dini di negara kita memang jauh dari memadai, apalagi membanggakan. Lebih daripada itu bahkan ada kesan bahwa PAUD kita selama ini memang terabaikan.
Menurut catatan United Nations Educational Scientific, and Cultural Organizations atau UNESCO, angka partisipasi pendidikan anak usia dini atau PAUD di Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara berpenghasilan rendah di Asia lainnya. Partisipasi PAUD di Indonesia hanya 22 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding partisipasi PAUD di Filipina yang sebesar 27 persen, Vietnam 43 persen, Thailand 86 persen, dan Malaysia 89 persen.
PAUD TERABAIKAN
Secara kuantitas jumlah anak usia dini di Indonesia memang relatif sangat tinggi, namun demikian sebagian besar dari mereka itu belum terlayani pendidikannya. Dari sebanyak sekitar 13,5 juta anak usia 0 sampai dengan 3 tahun ternyata baru sekitar 2,5 juta atau 18,74 persen yang terlayani. Di sisi lain dari sekitar 12,6 juta anak usia 4 sampai 6 tahun ternyata baru sekitar 4,6 juta atau 36,54 persen yang terlayani pendidikannya. Jadi secara kuantitatif anak usia dini kita yang terlayani pendidikannya masih relatif sangat sedikit jumlahnya.
Bagaimana dengan kualitasnya? Kita semua tahu, dari TK, RA, KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat yang ada di Indonesia pada umumnya masih belum memperhatikan kualitas, atau setidak-tidaknya kualitas belum menjadi tujuan utama.
Kita hendaknya jujur dan objektif, kata Anggota DPD Asal Sumut Parlindungan Purba, SH, MM bahwa sampai saat ini masih banyak TK yang kembang-kempis karena rendahnya keinginan orang tua mendidikkan putra-putrinya di TK, tidak adanya guru yang representatif, terbatasnya tempat kegiatan, dan alasan lainnya.
Bagaimana dengan TPA? Tanpa menafikan yang sudah berjalan baik, penyelenggaraan TPA yang seadanya dengan kurang memperhatikan mutu masih sangat banyak terjadi di masyarakat. Sama halnya dengan KB? KB yang baik dan menjadi idola masih sangat terbatas jumlah dan jenisnya, bisa dihitung dengan jari. Untuk ukuran kota besar, dimana kesibukan kedua orangtua telah menjadikan TPA dan KB sebagai tempat untuk belajar anak.
"Terkait kualitas pendidikan kita yang rendah dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain pada umumnya, akar permasalahan sesungguhnya ada pada terabaikannya PAUD selama ini," tandas Parlindungan.
Dukungan pemerintah dalam menyediakan akses dan layanan PAUD di Indonesia pun masih rendah. Anggaran pendidikan yang diarahkan untuk anak usia dini masih terbatas. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara di Asia lainnya yang relatif lebih tinggi. Malaysia, Filipina, dan Thailand anggaran pendidikan usia dininya rata-rata telah di atas 10 persen.
Pengembangan pendidikan untuk anak usia dini di Indonesia, lanjut Parlindungan harus dilakukan dengan pendidikan yang lebih sistemik. Untuk menuju ke arah sana, diperlukan dukungan kebijakan dan investasi dari pemerintah.
Dalam sebuah kesempatan, Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidilan Luar Sekolah (Ditjen PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Gutama mengakui bahwa angka partisipasi PAUD di Indonesia rendah.
Padahal, PAUD tidak dapat dipandang sebelah mata, karena usia tersebut merupakan "masa emas" di mana perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya pendidikan memadai pada masa itu.
PERAN KELUARGA
Masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi PAUD di Indonesia, lanjut Gutama. Pasalnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya PAUD. Selain itu, PAUD belum menjadi "pendidikan wajib" sebab belum adanya anggaran khusus untuk sektor pendidikan tersebut.
Kendala lainnya adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi belum tersedia serta belum semua daerah punya petugas yang menangani PAUD. Untuk hal ini, Ditjen PLS bakal melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya PAUD dan mendorong terselenggaranya sebuah lembaga PAUD non-formal.
Ditjen PLS telah memiliki target untuk meningkatkan peran serta orang tua agar mengikutsertakan anak dalam PAUD. Tahun 2006, kata Gutama, ditargetkan mampu mencapai 12,5 dari 11,9 juta anak. Kemudian tahun 2007 sebanyak 18 dari 12 juta anak, 2008 dari 12,2 juta anak ditarget 26 serta tahun 2009 mendatang targetnya 35 dari 12,4 juta anak.
Mengingat pentingnya PAUD, pemerintah pusat maupun daerah sudah sepantasnya memberi perhatian lebih serius terhadap permasalahan ini. Sudah waktunya pula sebagian dana pendidikan itu diarahkan pada pengadaan sarana dan prasarana untuk kelangsungan PAUD di daerah masing-masing.
Seperti dikemukakan di atas, PAUD merupakan upaya pembinaan anak sejak lahir sampai usia 6 tahun melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Tujuannya agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk itu, seperti disampaikan Direktur Jenderal PLS, Ace Suryadi, keluarga merupakan sarana pendidikan pertama dan utama untuk mendidik anak. Prinsip PAUD melalui keluarga adalah bentuk pendidikan nonformal yang dapat mendorong kesiapan anak dalam proses belajar di usia sekolah.
Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga karena banyak orangtua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti Taman Penitipan Anak, Taman Kanak-kanak dan sejenisnya.
Saat ini, PAUD berbasis keluarga masih dalah proses pengembangan konsep. Keluarga diharapkan mempunyai kemampuan mengembangkan prinsip-prinsip mendidik anak yang baik dan benar. Lebih lanjut, Ace menilai PAUD dipercaya dapat memacu peningkatan mutu pendidikan jangka panjang. Semakin banyak anak yang dilayani PAUD, semakin banyak anak yang memiliki kesiapan belajar. Jadi, pada usia sekolah, anak siap untuk mencapai kompetensi yang lebih besar, baik akademik maupun nonakademik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar